- Permasalahan sampah di Kota Bandung harus disikapi secara serius mengingat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Sarimukti tidak akan bertahan lama. Sementara sampah di Kota Bandung jumlahnya makin hari makin banyak, bahkan kalau disimpan per harinya bisa memenuhi 25 kali lapang sepak bola.
Demikian dikatakan Sekda Kota Bandung Edi Siswadi saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (25/4/12). "Dari itulah sudah harus dipikirkan bagaimana cara penanggulangan dan pengolahan sampah secara baik. Masalah ini harus disikapi secara serius karena mengingat aspek kesehatan. Itu pula yang harus dipahami oleh masyarakat," katanya.
Menurut Edi, jangan sampai kasus penumpukan sampah di Kota Bandung pada tahun 2005 itu terulang lagi gara-gara tidak terangkut.
Untuk itu, kita Pemkot Bandung tengah memikirkan cara mengatasi, salah-satunya dengan membuat Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) karena dibanding dengan cara lain yaitu Open Dumping dan Sanitary Landfill."Cara ini lebih cocok karena teknologi tinggi dan tidak memerlukan lahan yang sangat luas. Mudah-mudahan dua atau tiga tahun ke depan bisa terwujud," katanya.
Namun menurut Edi, untuk jangka pendek ini, masalah sampah pun sebenarnya bisa teratasi mulai dari komunitas terkecil yaitu keluarga. Di rumah-rumah masing-masing sudah harus bisa melakukan pemilahan antara sampah organik dan anorganik.
Dijelaskan Edi, sudah
saatnya merubah pola pikir karena berdasarkan penelitian PD Kebersihan 90 persen penduduk kita malas mengolah sampah atau sekedar memilahnya. "Mereka memberikan sepenuhnya kepada petugas kebersihan. Padahal retribusi sampah yang ditarik dari warga hanya 30 persen saja atau sekitar Rp14 miliar. Sedangkan sisanya yaitu Rp60 miliar hingga kini masih ditanggung Pemkot Bandung," katanya.
Dengan demikian, menurut Edi, perlu adanya tindakan melalui berbagai gerakan yang ditunjang aktifis lingkungan seperti Walhi juga PD Kebersihan dengan sektor lainnya dalam hal ini Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH). Gerakan itu diharapkan bisa menyadarkan masyarakat akan kepeduliannya terhadap lingkungan.
Menurutnya, perubahan pola pikir yang berdampak positif yaitu dengan mengubah sampah menjadi tambahan penghasilan. Dimana sampah-sampah organik yang dihasilkan dari rumah tangga diolah menjadi kompos dan pupuk. Sedangkan sampah anorganik dimanfaatkan menjadi aneka kerajinan kreatif lainnya.
Saat ini, menurut Edi, dalam seharinya sampah organik itu mencapai 60 persen atau 15 ribu meter kubik. Bila dijadikan kompos akan menghasilkan dengan 3.588 ton kompos. Bila harga jual Rp200/kg, bearti akan diperoleh Rp717,6 juta perhari.
"Namun bila dijualan dipasaran umum dengan kemasan yang bagus satu kilogramnya bisa sebesar Rp500 atau Rp600, maka akan lebih tinggi lagi nilai ekonomisnya. Belum lagi kalau dijadiakan seperti pupuk cair, briket, biogas, bioelektrik, semen beton polmer dan lain-lain," katanya.
Hal ini, dikatakan Edi, akan menjadikan sebuah potensi ekonomi yang sangat luar biasa. Sayangnya, potensi ini belum digarap secara optimal. Seperti halnya di Negera Kanada, ada sebuah gerakan dengan menyediakan tong-tong sampah disetiap rumah warga diantaranya tong warna hijau untuk sampah organik sedangkan kuning untuk anorganik. (A-113/A-108)***
Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/node/186121
No comments:
Post a Comment